Daán yahya
Oleh: Muhyiddin
Diutusnya Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam adalah sebagai rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi seluruh makhluk di alam semesta. Rasulullah SAW adalah penutup para utusan-Nya, sang khatamul anbiya. Risalah yang dibawanya berlaku hingga akhir zaman.
Sebelum menerima wahyu pertama, beliau telah ditempa dengan pelbagai pengalaman. Ayahnya berpulang ke rahmatullah tatkala dirinya masih berada dalam kandungan. Saat berusia anak-anak, ia pun ditinggal wafat ibundanya. Sempat diasuh oleh kakeknya, Muhammad SAW muda lalu berada di bawah kasih sayang pamannya, Abu Thalib.
Bersama sang paman, beliau ikut dalam pelbagai perjalanan niaga, termasuk yang menempuh jarak sejauh Negeri Syam. Dalam rihlah ini, keduanya sempat bertemu dengan seorang pendeta Nasrani. Buhaira—demikian namanya—melihat adanya tanda-tanda kenabian pada diri Muhammad SAW.
Saat berusia 25 tahun, Muhammad SAW menjadi seorang saudagar muda yang sukses. Julukannya ialah al-Amin, sosok yang sangat tepercaya. Reputasinya menarik perhatian seorang wanita kaya raya, Khadijah binti Khuwailid.
Muhammad SAW menjalankan misi perdagangan yang dimodali, antara lain, perempuan pebisnis itu. Dalam perjalanan bisnis ke Syam ini, beliau ditemani seorang budak kepercayaan Khadijah, yakni Maisarah. Usai merampungkan urusannya, Muhammad dan Maisarah pulang ke Makkah.
Beliau juga menyerahkan sejumlah keuntungan dari perniagaan tersebut kepada Khadijah, sesuai dengan kesepakatan yang dibuat sebelumnya. Sesudah Muhammad SAW pergi, wanita yang peka dan cerdas ini lalu mendengarkan informasi dari Maisarah tentang sifat-sifat mulia rekan bisnisnya itu.
Beberapa hari kemudian, Khadijah melamar Muhammad SAW melalui sahabatnya yang juga kerabat beliau. Akhirnya, kedua insan yang terhormat ini melangsungkan pernikahan. Pasangan suami-istri ini dikaruniai enam orang anak.
Kedudukan Muhammad SAW di tengah masyarakat Makkah, khususnya kaum Quraisy, sangat terpandang. Saat menikah dengan Khadijah, dirinya berusia 25 tahun. Kira-kira 10 tahun kemudian, terjadilah pemugaran atas sebagian kompleks Masjidil Haram.
Fase pengerjaan nyaris rampung. Tinggal lagi mengembalikan Hajar al-Aswad ke tempat semula pada dinding Ka’bah. Ternyata, tiap suku berebut untuk melakukannya. Hampir-hampir terjadi konflik atau perang terbuka.
Lantas, disepakatilah bahwa siapapun yang datang ke Masjidil Haram paling pagi pada keesokan hari sebagai penengah mereka. Ternyata, sosok yang demikian itu adalah Muhammad SAW. Para kepala suku dengan lapang dada menyerahkan urusan ini kepada beliau.
“Ini dia sang al-Amin! Kami ridha dengannya!” kata mereka serempak.
Kemudian, Muhammad SAW meminta sehelai sorban panjang. Beliau mengambil Hajar al-Aswad dan meletakkannya di atas bentangan sorban itu dengan tangannya sendiri. “Setiap perwakilan kabilah hendaknya mengambil sisi-sisi selendang ini, lalu mari kita angkat Hajar al-Aswad bersama-sama,” kata beliau mengarahkan.
Benda mulia itu pun diangkat oleh mereka hingga dekat dengan dinding Ka’bah. Kemudian, Muhammad SAW mengangkat dan meletakkan Hajar al-Aswad dengan tangannya kepada tempat yang seharusnya. Renovasi Masjidil Haram pun selesai. Semua suku merasa senang dan gembira dengan solusi beliau.
DOK WIKIPEDIA
Wahyu pertama
Sebelum diangkat sebagai utusan Allah, Muhammad SAW kerap melakukan pengasingan diri (uzlah) di Gua Hira. Beliau bertafakur lantaran merasa prihatin atas kondisi sosial masyarakat Makkah kala itu. Kebanyakan mereka masih saja buta mata hati sehingga menyembah berhala, alih-alih bertauhid.
Kala itu, usia beliau mencapai 40 tahun. Pada malam tanggal 17 Ramadhan, Muhammad SAW mengamalkan uzlah sepert biasa di gua tersebut. Selama menyendiri, suami Khadijah binti Khuwailid itu menyibukkan dirinya dengan berzikir, menyebut nama Allah.
Malam itu, Muhammad SAW merasakan ketenteraman dan kedamaian. Namun, tiba-tiba beliau terkejut karena didatangi sosok yang tidak biasa. Itulah Malaikat Jibril.
“Bacalah,” kata sang malaikat.
“Saya tidak dapat membaca,” jawab Muhammad SAW.
“Bacalah,” kata sosok tersebut lagi.
“Saya tidak dapat membaca.”
Pada kali ketiga, Jibril memegang Muhammad SAW hingga beliau merasa sesak. Barulah setelah diminta membaca lagi, beliau menjawab, “Apakah yang harus kubaca?”
Kemudian, Jibril menyampaikan wahyu Allah SWT, yakni Alquran surah al-‘Alaq ayat pertama hingga kelima.
اِقۡرَاۡ بِاسۡمِ رَبِّكَ الَّذِىۡ خَلَقَۚ
خَلَقَ الۡاِنۡسَانَ مِنۡ عَلَقٍۚ
اِقۡرَاۡ وَرَبُّكَ الۡاَكۡرَمُۙ
الَّذِىۡ عَلَّمَ بِالۡقَلَمِۙ
عَلَّمَ الۡاِنۡسَانَ مَا لَمۡ يَعۡلَمۡؕ
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia, Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.”
Bersamaan dengan itu, mulailah kedudukan Muhammad SAW sebagai nabiyullah dan sekaligus rasulullah. Sesudah itu, beliau segera pulang dengan hati yang tergoncang. Begitu menjumpai Khadijah, lelaki mulia ini berkata, “Selimuti aku, selimuti aku.”
Khadijah pun menuruti perkataan sang suami tanpa banyak bertanya, apalagi membantah. Barulah sesudah Rasulullah SAW tenang, perempuan mulia ini mendengarkan penuturan beliau.
“Aku sangat mengkhawatirkan keadaan diriku,” kata Nabi SAW.
“Tidak. Demi Allah, Allah tidak akan menjadikan engkau bersedih sama sekali. Engkau adalah orang yang suka bersilaturahim, menghormati tamu, dan menolong orang-orang yang tertimpa musibah,” ucap Khadijah menenangkan beliau.
Wanita ini menjadi orang pertama yang beriman kepada Nabi SAW. Ia membenarkan risalah yang Rasulullah SAW terima dari sisi Allah.
Dengan masuk Islamnya Khadijah, Allah SWT meringankan beban Rasulullah SAW. Jika Nabi SAW mendapatkan perkataan yang tidak beliau sukai atau yang membuatnya bersedih, maka Khadijah-lah yang menyemangati beliau.
Inilah titik mula proses panjang dakwah Rasulullah SAW. Sepanjang masa 23 tahun kerasulan Nabi Muhammad SAW, selama 13 tahun di antaranya dihabiskan di kota kelahiran beliau, Makkah al-Mukarramah. Adapun di 10 tahun sisanya, beliau berdakwah di Madinah al-Munawwarah.
Menurut salah seorang sejarawan Muslim pertama Ibnu Ishaq (wafat 767 M), selama tiga tahun pertama Rasulullah SAW berdakwah secara sembunyi-sembunyi. Beliau menyampaikan kebenaran kepada orang-orang yang terdekat dengan beliau, termasuk sanak famili dan para sahabat.
Selain Khadijah, di antara mereka yang masuk Islam pada periode ini adalah Waraqah, Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar, Zaid bin Haritsah, dan Sa’ad bin Abi Waqas. Kemudian, ada pula Utsman bin ‘Affan, Zubair bin Awwam, Abdur Rahman bin ‘Auf, Abdullah bin Mas’ud. Terdapat pula orang-orang dari kalangan budak, semisal Bilal bin Rabah.
Tiga tahun sejak memulai dakwah sembunyi-sembunyi, turunlah wahyu dari sisi Allah SWT kepada Nabi SAW.
وَاَنۡذِرۡ عَشِيۡرَتَكَ الۡاَقۡرَبِيۡنَۙ
“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu (Muhammad) yang terdekat” (QS asy-Syu’ara: 214). Dengan turunnya ayat tersebut, berarti Rasulullah SAW sudah mulai diwajibkan untuk menyampaikan dakwah secara terang-terangan.
Beliau lalu mengumpulkan 30 orang kerabatnya di rumahnya. Kepada mereka, diserukan agar beriman dan berislam. Dalam sebuah kesempatan yang lain, Rasulullah SAW juga berdiri di Bukit Safa, tidak jauh dari Masjidil Haram. Kemudian, beliau mengumpulkan orang-orang Quraisy. Setelah banyak massa berkumpul, Rasulullah SAW berkata, “Wahai kaum Quraisy, jika aku mengatakan kepada kalian bahwa ratusan prajurit musuh sedang bersembunyi di balik bukit ini dan siap menyerang kalian, apakah kalian akan percaya?”
“Tentu saja! Karena kami mempercayaimu. Engkau selalu mengatakan hal-hal yang benar,” sahut mereka.
Kemudian, Rasulullah SAW bersabda, “Allah telah memerintahku agar mengingatkan kalian, bahwa kalian harus menyembah Allah SWT saja. Jika kalian terus menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, maka kalian akan mengundang azab dan murka-Nya. Aku tidak akan mampu berbuat apa pun untuk menolong kalian, meskipun kalian adalah dari kaumku sendiri.”
Seruan terbuka tersebut segera memicu beragam respons, termasuk dari para pemimpin Quraisy. Mereka langsung mencerca Nabi SAW. Inilah penentangan pertama yang dialami Rasulullah SAW.
Syekh Tawfique Chowdhury menulis dalam Mercy to the World, Seerah: Makkah Period. Menurut dia, alasan utama para pemuka Quraisy menentang Rasulullah SAW dan menghalang-halangi dakwah Islam adalah faktor ekonomi.
Pada masa tersebut, Makkah telah menjadi salah satu pusat paganisme dunia. Bahkan, di sekitar Ka’bah terdapat begitu banyak patung yang disembah tiap kabilah. Para elite Quraisy khawatir bila keadaan status quo yang menguntungkan mereka itu akan berubah. Karena itulah, dakwah Nabi SAW yang menyeru manusia agar menyembah hanya kepada satu Tuhan—Allah Ta’ala—ditentangnya habis-habisan.
DOK ap photo
Periode dakwah di Makkah al-Mukarramah merupakan fase terberat bagi Nabi Muhammad SAW dan kaum Muslimin. Umat Islam mengalami begitu banyak intimidasi dari orang-orang musyrik. Bahkan, para pemuka kafir Quraisy tidak segan-segan membunuh sejumlah orang dari mereka, terutama yang lemah secara sosial-ekonomi.
Di tengah badai siksaan dan teror, kaum Mukminin tidak lantas menyerah. Mental umat Islam dan Rasulullah SAW sendiri justru kian teguh. Kian ditekan dengan pelbagai cara, kian kokoh tekadnya dalam menolak kemusyrikan.
Husain Haekal, penyusun buku biografi Hayatu Muhammad, menulis, “Rumah Nabi Muhammad SAW dilempari batu. Keluarga dan pengikut-pengikut beliau diancam. Namun, dengan semua itu malah beliau makin tabah, makin gigih meneruskan dakwah.”
Tekad itu direpresentasikan dengan sabda Rasulullah SAW:
وَاللهِ لَوْ وَضَعُوْا الشَّمْسَ فِيْ يَمِيْنِيْ وَاْلقَمَرَ فِيْ يَسَارِيْ عَلَى أَنْ اَتْرُكَ هَذَا اْلأَمْرَحَتَّى يَظْهَرَهُ اللهُ أَوْ اَهْلَكَ فِيْهِ مَاتَرَكْتُهُ
“Demi Allah, kalaupun mereka (musyrikin) meletakkan matahari di tangan kananku dan meletakkan bulan di tangan kiriku, dengan maksud supaya aku meninggalkan tugas ini, sungguh tidak akan kutinggalkan. Biar nanti Allah yang akan membuktikan kemenangan itu, apakah di tanganku atau aku binasa karenanya.”
Sebagian petinggi Quraisy terkesima dan sekaligus heran. Sebab, selama ini Nabi Muhammad SAW dikenal sebagai pribadi yang halus, lemah lembut, dan tidak konfrontatif. Kini, betapa kerasnya menghadapi kekuasaan status quo Makkah. Padahal, yang tidak mereka pahami adalah, ketegasan beliau itu ditunjukkan bukan untuk kepentingannya pribadi, melainkan menunaikan amanah kenabian.
Ibnu Hisyam dalam Sirah Nabawiyah menuturkan, dalam kondisi penuh tekanan dari orang-orang kafir Quraisy, Rasulullah SAW tetap memperoleh dukungan dari pamannya, Abu Thalib. Meskipun begitu, hingga akhir hayatnya sang paman tidak juga menyatakan diri sebagai seorang Muslim.
Abu Thalib melihat orang-orang Quraisy bertindak ekstrem terhadap para pengikut Nabi Muhammad SAW. Kemudian, ia menemui tokoh-tokoh Bani Hasyim dan Bani al-Muththalib guna mengajak mereka agar melindungi Rasulullah SAW. Kebanyakan mereka sepandangan dengan Abu Thalib. Adapun pertentangan yang paling keras disuarakan Abu Lahab.
Walaupun sama-sama paman Nabi SAW, Abu Lahab memiliki karakteristik yang amat berbeda dengan Abu Thalib. Orang yang bernama asli Abdul Uzza itu secara terang-terangan memusuhi beliau dan risalah Islam. Alquran mengabadikan namanya dalam surah al-Lahab, yang berisi gambaran siksaan yang akan diterima Abu Lahab dan istrinya.
Ibnu Ishaq berkata, orang-orang Quraisy semakin meningkatkan permusuhan kepada Rasulullah SAW dan orang-orang yang mengikuti ajaran beliau. Mereka mengerahkan segala cara untuk menghalang-halangi syiar Islam, termasuk dengan menuding Nabi SAW sebagai penyair, penyihir, atau orang gila.
Yang sering pula mereka lakukan adalah menyasar orang-orang fakir, miskin, dan budak belian yang masuk Islam. Kaum Muslimin dari golongan demikian amat rentan karena tidak memiliki perlindungan dari suatu kabilah. Di antara Mukminin itu, ada yang mengalami siksaan amat berat, semisal disalib atau ditindih batu besar di atas padang pasir. Bagaimanapun, hatinya tetap teguh beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
Bilal bin Rabah merupakan salah seorang sahabat yang mendapatkan siksaan berat dari para pemuka Quraisy. Sang muazin pertama dalam sejarah itu masuk Islam saat masih berstatus budak. Ketika disiksa tuannya yang kafir, ia tidak takut sedikitpun. Dalam kesukaran, lisannya terus mengucapkan “Ahad… Ahad….” Maknanya sejalan dengan kalimat tauhid, “Laa Ilaaha illa Allah.”
Berbagai ujian, siksaan, dan kekerasan ditimpakan padanya. Termasuk, di antaranya dicambuk, dijemur di bawah terik matahari, hingga tubuhnya ditindih dengan batu. Namun demikian, keislaman Bilal tak goyah. Ia tetap teguh menyatakan keimanannya kepada Allah dan Rasulullah SAW.
Yasir dan istrinya, Sumayyah, adalah syuhada pertama dalam sejarah Islam. Pasangan tersebut berasal dari kalangan budak sehingga tidak dilindungi suku-suku manapun di Makkah. Ketika mendapati kabar keislaman mereka, Abu Jahal amat murka.
DOK MAXPIXEL
Kedua Mukmin tersebut lantas diseret orang-orang Quraisy. Dengan tangan dan kaki terikat, keduanya dibaringkan di atas gurun yang panas menusuk. Pada akhirnya, Yasir dan Sumayyah meninggal dunia akibat siksaan terus menerus dari musyrikin. Sementara itu, Amar bin Yasir selamat. Putra para syuhada itu menjadi seorang sahabat yang amat dikasihi Rasulullah SAW. Beliau pernah bersabda, “Siapa yang memusuhi Ammar, ia akan dimusuhi Allah.”
Ketika tekanan terhadap Islam tidak kunjung mereda di Makkah, Nabi SAW memerintahkan sekelompok sahabatnya untuk berpindah ke Habasyah (Etiopia). Raja negeri di seberang Laut Merah itu masyhur sebagai seorang pemeluk Nasrani yang saleh. Rasulullah SAW berharap, penghidupan Muslimin di sana dapat lebih baik daripada di kota ini.
Inilah hijrah pertama dalam sejarah Islam. Mengetahui kabar tersebut, kaum kafir Quraisy berusaha membuntuti rombongan ini guna menggagalkan misi Muslimin.
Menurut Dr Sayuqi Abu Khalil dalam Athlas Hadith al-Nabawi, wilayah Habasyah pada zaman Nabi SAW merupakan tempat tumbuh suburnya ajaran Kristen. Banyak ahli kitab yang berada dan mengajar di sana. Dakwah monoteisme didukung raja setempat, Najasyi.
Sang raja pun memiliki pengetahuan yang cukup mendalam tentang Injil. Dan, salah satu kabar gembira yang disebutkan kitab suci itu adalah, kedatangan seorang rasul Allah yang akan membimbing umat manusia hingga akhir zaman.
Hijrahnya para sahabat ke Habasyah terjadi dalam dua tahapan. Pada fase pertama, terdapat 10 orang laki-laki dan lima orang perempuan. Di antara mereka adalah Ustman bin Affan dan istrinya, Ruqayah binti Rasulullah SAW. Mereka kembali usai tiga bulan karena terpengaruh kabar burung bahwa orang-orang Quraisy telah memeluk Islam. Begitu sampai di sekitar perbatasan Makkah, para muhajirin ini mendapati, berita itu tidak benar adanya. Dengan terpaksa, mereka segera berlayar kembali ke Habasyah, sedangkan sebagian dari mereka terus memasuki kota Makkah dengan perlindungan orang yang berpengaruh.
Pada fase kedua, sebanyak 83 orang lelaki dan 18 orang wanita berhijrah ke negerinya Raja Najasyi. Mereka dipimpin Ja'far bin Abi Thalib, seorang sepupu Nabi SAW yang dikenal memiliki kepandaian dalam berdiplomasi. Rombongan ini segera dikejar sejumlah orang Quraisy hingga Habasyah.
DOK PXHERE
Setibanya di tempat tujuan, Ja’far dan rombongan diterima Raja Najasyi dalam suatu majelis yang penuh keagungan. Namun, tidak seperti tamu-tamu pada umumnya, kaum Muslimin tersebut menghadap sang raja tanpa mengikuti kebiasaan setempat, yakni menunduk atau bahkan bersujud di hadapan Najasyi.
Kaum kafir Quraisy, yang tiba beberapa hari sesudah itu, lantas mendengar kabar tersebut. Inilah yang menjadi senjata mereka untuk menjatuhkan posisi kaum Muslimin di hadapan Raja Najasyi. Bagaimanapun, Ja’far tampil dengan penjelasan yang mengena.
“Agama kami tidak membenarkan bersujud di hadapan selain Allah SWT,” ujar kakak Ali bin Abi Thalib itu kepada Najasyi.
Ternyata, penguasa Habasyah itu dapat menerima alasan yang disampaikan Ja’far. Najasyi pun tertarik dengan keterangan mengenai pribadi dan ajaran Nabi Muhammad SAW.
“Apakah yang telah diajarkan oleh nabi kalian itu?” tanya sang raja.
Ja'far kemudian membacakan Alquran Surah Maryam ayat ke-14. Belum selesai ayat tersebut dibacakan, air mata Raja Najasyi sudah berderai haru. Para pendeta kerajaan juga meneteskan air mata karena hati mereka tergugah oleh keindahan ayat tersebut. “Sesungguhnya, agama yang dibawa oleh nabi kalian dan agama kami berasal dari sumber yang satu,” kata Raja Najasyi kepada sepupu Rasulullah SAW itu.
Maka, kaum Muslimin diperkenankannya untuk tinggal di Habasyah. Adapun orang-orang Quraisy dipersilakannya untuk pulang ke Makkah tanpa membawa seorang pun muhajirin.
Sepuluh tahun lamanya kelompok Muslim yang dipimpin Ja'far bin Abu Thalib hidup damai di Etiopia. Sementara itu, pada tahun kesepuluh sejak kenabian, Rasulullah menghadapi masa-masa penuh kesedihan di Makkah. Istrinya, Khadijah, berpulang ke rahmatullah. Demikian pula dengan paman beliau, Abu Thalib, yang wafat dalam keadaan non-Muslim.
Karena tekanan dari kaum musyrik Quraisy semakin berat, Rasulullah SAW atas izin Allah mengimbau kaum Muslim agar berhijrah ke Yastrib (Madinah). Ja'far dan rombongan dari Habasyah baru bisa menyusul ke sana tujuh tahun setelahnya.
top